04 April 2008

Urusan privat, yang menjadi publik kemudian menjadi kebijakan publik

Dalam tulisan ini saya mengangkat masalah pornografi karena masalah ini cukup panas dibicarakan karena ada benturan antara agama serta paham kebebasan berekspresi. Dalam Agama Islam sendiri sebenarnya ada aturan yang jelas mengenai larangan mempertontonkan aurat maupun menonton sesuatu yang mengundang birahi yang bukan merupakan muhrimnya. Namun ketika DPR mengusulkan Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) maka timbul protes dari beberapa pihak, karena ketika hal tersebut diterapkan di negara demokrasi maka akan sangat membatasi kebebasan dalam berekspresi. Serta menyeragamkan akhlak atau perilaku manusia Indonesia secara merata, yang sebagian menganggap ini sebuah pelanggaran HAM.
Kontoversi ini berawal dari konflik yang terjadi antara Rhoma Irama dengan Inul Daratista. Roma yang menganggap ’goyangan’ Inul terlalu erotis dan membuat musik dangdut seperti musik ’comberan’ kemudian mencekal Inul, dan menjadi berita di semua media. Yang kemudian tiba-tiba DPR mengeluarkan RUU APP, yang kemudian direaksi oleh masyarakat.
Pornografi (dari bahasa Yunani πορνογραφία pornographia — secara harafiah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur) (kadang kala juga disingkat menjadi "porn," "pr0n," atau "porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual, mirip, namun berbeda dengan erotika, meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian.
Pornografi dapat menggunakan berbagai media — teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi), dan suara seperti misalnya suara orang yang bernapas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi. Suatu pertunjukan hidup pun dapat disebut porno.
Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP adalah suatu rancangan produk hukum yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 14 Februari 2006. RUU yang berisi 11 bab dan 93 pasal pada rancangan pertamanya ini mengatur masalah pornografi dan pornoaksi di Indonesia. RUU ini dimaksudkan sebagai upaya mencegah berbagai bentuk kejahatan itu dalam kerangka menciptakan kehidupan yang bermoral.
Pada rancangan kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pasal mengenai sanksi pidana dan pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum". Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) sehingga secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur"[1]. Pornoaksi adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".
Isu yang diperdebatkan dalam RUU ini adalah karena RUU ini mencoba menghentikan pornografi dengan menyamaratakan akhlak atau moral seluruh rakyat Indonesia dengan salah satu kelompok agama. Padahal seperti yang kita tahu bahwa semboyan NKRI adalah Bhineka Tunggal Ika, yang berati masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan budaya yang tentunya memiliki standar moral serta akhlak yang berbeda. Sebagai contoh, masyarakat Papua tidak bisa lagi memakai pakai tradisionalnya lagi karena termasuk mengumbar aurat atau ketika seorang wanita sedang berlari pagi dengan menggunakan celana pendek, maka ia pun bisa terkena sanksi hukum karena telah mengumbar aurat di depan umum. Tetapi yang menolak RUU ini setuju bahwa perlunya pengaturan penyebaran barang-barang yang berbau pornografi, bukan mengatur akhlak atau moral bangsa. Mereka juga mengatakan bahwa RUU ini terlalu menyudutkan perempuan karena perempuan dianggap bersalah karena telah mengumbar auratnya sehingga telah merusak moral dan akhlak.
Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung RUU ini. Mereka berpendapat RUU APP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat akhir-akhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan adat-istiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi, sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus pertunjukan seni atau gedung olahraga (Pasal 36), dan semuanya tetap harus mendapatkan ijin dari pemerintah dahulu (Pasal 37).
Dan sekarang pemerintah melalui Depkominfo siap untuk mensahkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang bertujuan untuk membatasi dan mengamankan informasi yang tersebar di Internet dengan payung hukum. Tetapi yang menjadi berita dan kontroversi adalah adanya larangan penyebaran hal hal yang berbau porno, pornoaksi maupun kekerasan lewat internet.
Sebagai kesimpulan, pornografi memiliki arti atau batasan yang berbeda bagi setiap orang yang dalam hal ini berarti urusan privat, kemudian menjadi urusan publik karena dinilai tidak pantas secara moral oleh sebagian kelompok masyarakat dan menjadi kebijakan publik ketika Undang undang yang mengaturnya telah disahkan.

0 comments:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template