08 July 2008

liberalisasi dan privatisasi

 Review jurnal Kebijakan Publik
“Dinamika Peran Negara Dalam Proses Liberalisasi dan Privatisasi”
Oleh Syamsul Ma’arif

Abstract
Liberalization and privatization are often associated with global demands for terminations of state interference in business. The policy often results in dispute between neoliberalism and socialism. Neoliberalism perceives state interference in economic area as bad, damaging, and inefficient to economic life. State, which conducts the operation in political power logic, is perceived less or even not give the place for the expanding of healthy market structure and competitive. While socialism perceives state as central figure of economic system, socialism can be understood as an economic system in which the mean of production, distribution, and exchange are publicly owned and operated. Since socialism assumes state as the most representative organization, so the meaning of owned and operated by public means the power of ownership and the mode of operation be on the hand of state. As political ideology, in its connection with economic control, socialism believes that the state should develop the economic planning and control on market operation. This paper proves that neoliberalism and the philosophy demands for termination of the state role, in the reality, suffers a kind of paradox. On one hand, it trusts market excellence so much over state. But in the other hand, it requires the active role of state to return the free market idea.

Keyword: liberalization and privatization, state, economics


Pendahuluan
Tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan/ kemakmuran yang lebih tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dapat ikut campur tangan secara aktif maupun secara pasif (Soepangat, 1991: 7). Penjelasan mengenai keterlibatan pemerintah dalam perekonomian tak lepas dari ideologi yang dianut oleh negara tersebut. Dalam literatur ilmu-ilmu sosial, konsep ideologi memiliki dua pengertian, yaitu secara fungsional dan secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil penguasa (Surbakti, 1992: 32)

Relasi negara dan ekonomi
Perdebatan mengenai peran negara (baca:pemerintah) dalam perekonomian telah berlangsung dan memunculkan polarisasi diantara empat ideologi yaitu liberalisme, sosialisme, liberalisme modern dan sosialis demokratis. Persoalan pokok yang muncul dari perdebatan itu berpangkal pada pertanyaan seputar “apa peran yang seharusnya dijalankan pemerintah dalam kepemilikan dan pengelolaan ekonomi”.
Sistem perekonomian yang menganut paham liberalisme atau kapitalisme dalam bentuk yang murni menghendaki adanya kebebasan individu yang mutlak dan tidak dibenarkan pengaturan ekonomi oleh pemerintah kecuali dalam hal-hal yang tidak diatur sendiri oleh individu (Soepangat dan Gaol, 1991: 7). Kapitalisme pada dasarnya bersumber dari pemikiran Adam Smith yakni filusuf Ekonomi Klasik. Keseluruhan filsafat pemikiran ekonomi klasik tersebut dibangun diatas dasar filsafat liberalisme. Mereka percaya pada kebebasan individu (personal liberty), kepemilikan pribadi (private property), inisiatif serta usaha swasta (private enterprise) (Fakih, 1999: 45-46).
Itulah mengapa kapitalisme selama ini sering diasosiasikan dengan liberalisme. Kapitalisme itu sendiri, seperti yang ditulis Austin Ranney (1996), bukan ideologi politik, melainkan suatu sistem ekonomi dimana cara produksi, distribusi, serta pertukaran barang dan jasa dimiliki dan dioperasikan oleh pihak swasta. Sedangkan liberalisme merupakan filsafat politik dan juga ideologi politik. Liberalisme, pada awal pertumbuhannya sering dikonotasikan sebagai pernyataan kebebasan individu dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini dimaksudkan sebagai langkah awal dalam usaha memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia. Diharapkan dengan adanya jaminan tersebut, manusia akan lebih mampu mengembangkan kecakapannya masing-masing secara lebih utuh. Dalam pandangan liberalisme, negara dan politik hanya menempati salah satu bagian, dan bukannya asapek yang terpenting dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan pandangan tersebut, tujuan negar semata mata hanya mempertahankan negara dari gangguan atau serangan dari negara lain, dan fungsi negara tidak lebih dari mempertahankan negara dari gangguan atau serangan negara lain, dan fungsi negara tidak lebih dari mempertahankan hukum dan ketertiban di dalam masyarakat sesuai dengan rumusan “ pemerintahan yang baik adalah yang sedikit memerintah” (Haricahyono, 1991: 133-134). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kapitalisme adalah “tangan” liberalisme yang bekerja mengelola urusan ekonomi dan bisnis.
Pemikiran liberalisme dalam bidang ekonomi, terkenal dengan ajarannya yang disebut laissez faire (Hari Cahyono, 1991: 136). Laissez faire didefinisikan sebagai doktrin yang menuntut campur tangan minimal pemerintah terhadap urusan urusan ekonomi dan politik. Di bawah doktrin ini masyarakat yang ideal dicirikan oleh adanya persaingan antar individu dilengkapi dengan hak-hak setara, yang bebas berusaha untuk mewujudkan kepentingannya dalam interaksi dengan hubungan-hubungan ekonomi. Adam Smith menyatakan bahwa pemerintah memiliki tiga fungsi, yaitu dalam bidang pertahanan dan keamanan, keadilan sosial (tertib hukum) dan pekerjaan umum (sosial).
Berbeda dengan kapitalisme, sosialisme merupakan sistem ekonomi sekaligus ideologi politik. Sebagai sistem ekonomi, sosialisme merupakan suatu sistem ekonomi dimana cara produksi, distribusi dan pertukaran barang jasa dimiliki dan dioperasikan oleh publik. Karena sosialisme menganggap negara sebagai representasi publik, maka makna dimiliki dan dioperasikan publik berarti kuasa kepemilikan dan operasionalisasinya berada di tangan negara. Sebagai ideologi politik, dalam hubungannya dengan kontrol ekonomi, sosialisme percaya bahwa negara perlu mengembangkan perencanaan ekonomi dan pengendalian pasar (Khrisna, 1993: 145-146). Hal ini didasari alasan bahwa kebebasan dan persaingan dalam suatu susunan masyarakat yang tidak adil akan mengukuhkan ketidakadilan itu sendiri. Inilah sebabnya mengapa negara (pemerintah) harus mengambil alih peran tertentu secara lebih aktif untuk melindungi mereka yang lemah dan membatasi kekuasaan mereka yang kuat. Campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi selain dapat dibenarkan secara moral dan politis, juga bersifat mutlak demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bersama diantara anggota masyarakat. Sosialisme ini memiliki dasar yang berbeda dengan kapitalisme yakni pada pengakuan hak milik pribadi, sosialisme tidak mengakui adanya hak milik pribadi sedangkan kapitalisme mengakuinya.
Kritik terhadap liberalisme klasik Adam Smith dan gagasannya mengenai ekonomi pasar juga telah mendorong timbulnya ideologi baru yang dikenal dengan liberalisme modern atau neoliberalisme. Kritik liberalisme modern bertolak dari kenyataan bahwa ekonomi pasar menjelang akhir abad 19 terbukti tidak mampu mengatur pasar sebagaimana ditegaskan dalam tesis invisible hand Adam Smith. Persaingan ternyata berlangsung tidak sempurna dan tangan-tangan tak kelihatan’ tidak juga menunjukkan kinerja yang cemerlang. Pelaku usaha cenderung untuk memanipulasi pasar, suatu masalah yang sudah sejak dini diperingatkan oleh Adam Smith. Terdapat kecenderungan pasar yang semakin besar bagi sekelompok tertentu dan semakin kecil bagi kelompok lain, yaitu monopoli. Sistem ini menimbulkan depresi ekonomi dan melahirkan massa kelas bawah yang terbenam dalam lembah kemiskinan yang amat menyengsarakan. Pendek kata, masyarakat laissez faire mempunyai lebih banyak sisi negatif
Liberalisme klasik mendesak pemerintah untuk keluar dari pasar, sedangkan liberalisme modern memasukkan pemerintah kembali kedalam pasar untuk melindungi masyarakat dari sistem ekonomi yang kadang-kadang tidak adil. Sejak tahun 1930an konsep ekonomi klasik telah tergusur oleh konsep ekonomi Keynesian yang digagas oleh John Maynard Keynes. Menurut Keynes, peran pemerintah tak hanya dibatasi sebagai pembuat aturan, tetapi diperluas meliputi kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal, khususnya untuk menggerakkan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.
Sementara itu, sosialisme yang lahir sebagai kritik atas kapitalisme ternyata juga tidak bebas kritik atas kapitalisme juga tidak bebas kritik. Kritik yang diberikan terhadap sistem sosialis adalah bahwa dengan dihapuskannya kebeabsan individu akan mengurangi hak asasi manusia dan juga mengurangi inisiatif individu. Dengan demikian ada kemungkinan abahwa berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalahkebijkan yang dipaksakan, dan kenyataannya memang sering demikian (Soepangat dan Gaol, 1991: 8). Kritik atas sosialisme mendorong timbulnya varian baru dari paham sosialisme yang disebut sebagai paham sosialisme demokratis. Penganut paham ini, yang sering disebut sebagai kaum revisinis, percaya dengan perjuangan demokratis sebagai metode perlawanan terhadap kaum kapitalis, misalnya dengan merebut kekuasaan melalui pemilihan umum bagi partai-partai sosialis. Mereka berusaha memenangkan pemilu dan selanjutanya mengontrol pemerintahan demokratis serta berkehendak mengadopsi secara damai dan memperkuat kebijakan-kebijakan sosialistis.
Dari uraian di atas tampak bahwa pemerintah perlu ikut campur tangan dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Negara-negara yang semula menganut sistem kapitalis murni mulai memandang perlunya peranan (campur tangan) pemerintah dalam perekonomian. Sedangkan negara-negara yang semula menganut sistem sosialis murni mulai memandang dan menghargai kepentingan-kepentingan dan inisiatif-inisiatif individu. Maka sistem ekonomi yang ada di sebagian besar negara di dunia ini merupakan sistem perekonomian campuran. Secara umum dapat disimpulkan ada empat peranan atau bentuk keterlibatan pemerintah dalam ekonomi, pengaturan kegiatan ekonomi swasta, redistribusi pendapatan dan pengadaan barang dan jasa publik (Surbakti, 1992: 212)
Pengarahan ekonomi dilakukan oleh pemerintah agar kegiatan ekonomi masysrakat bisa mencapai tujuan yang dikehendaki. Paham ini tak hanya dilaksanakan dalam sistem ekonomi terpusat, tetapi juga berkembang dalam sistem kapitalisme terutama berkat teori yang dikemukakan J. M. Keynes bahwa pemerintah harus aktif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan memelihara stabilitas harga tanpa mengurangi peranan swasta. Pengaturan kegiatan ekonomi swasta berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mengontrol monopoli. Penolakan terhadap monopoli didasarkan pada pertimbangan bahwa manakala terdapat suatu perusahaan memonopoli komoditas tertentu, maka perusahaan itu akan dapat memanipulasi posisinya yang demikian itu untuk mengendalikan jumlah produksi sehingga harganya naik kendati biaya tiap unit harganya lebih rendah dari perusahaan kecil. Oleh karena itu, di banyak negara pemerintah membuat undang-undang anti monopoli (Surbakti, 1992: 214-5)
Redistribusi pendapatan seringkali digunakan sebagai pembenaran atas intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi. Selain itu permasalahan distribusi tidak kan pernah dapat dijelaskan dengan argumen efisiensi atau pertimbangan-pertimbangan ekonomi semata, karena permasalahan distribusi merupakan permasalahan politik. Fungsi redistribusi pendapatan bertujuan menjamin pemenuhan kebutuhan pasar penduduk dan mengurangi kepincangan pendapatan dalam masyarakat. Bidang – bidang yang menjadi tujuan redistribusi terdiri atas pendidikan, kesehatan, transportasi umum, fakir miskin dan pelayanan sosial lainnya. Dalam upayanya melaksanakan peran redistribusi tersebut, pemerintah setidaknya dapat melakukan tiga bentuk tingkatan, yaitu dengan pajak progresif, pemberian subsidi, dan pelayanan sosial.
Sedangkan pengadaan barang-barang kolektif (public goods) dilakukan pemerintah mengingat kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui mekanisme pasar. Pengertian public goods adalah, barang-barang dan jasa-jasa yang secara sederhana tidak dapat disediakan melalui jual beli dipasar.

Liberalisasi dan Privatisasi
Liberalisasi menurut Kwik Kian Gie (1995), adalah paket kebijakan dan tindakan-tindakan yang ingin mewujudkan paham liberalisme. Dalam bidang ekonomi, penerapan liberalisasi berarti pembebasan area perdagangan barang dan jasa suatu negeri, sehingga dapat diakses seluas-luasnya oleh pelaku ekonomi bisnis, baik yang berasal dari dalam mapun luar negeri. Kehadiran negara diharapkan, tetapi hanya sebagai fasilitator yang menjamin agar mekanisme pasar dapat berjalan sebagai mana mestinya. Pengurangan atau penghapusan berbagai hambatan tarif ataupun non-tarif, selayaknya dilakukan pemerintah agar kegiatan perdagangan barang dan jasa antara negara dapat berlangsung secara bebas dan kompetitif. Pendek kata, liberalisasi lebih diarahkan pada percepatan arus barang, jasa dan modal serta penciptaan struktur pasar bebas yang kompetitif, dimana aktor-aktor pasar dapat saling berinteraksi dalam iklim persaingan usaha yang sehat (Choirie 2004:35-36).
Privatisasi secara umum dapat diartikan sebagai kebijakan yang diterapakan pemerintah dengan memberi berbagai fasilitas yang memudahkan pihak swasta dalam mengambil alih perusahaan-perusahaan milik negara (Krisna, 1993: 131). Privatisasi juga dapat diartikan sebagai tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran sektor swasta dalam aktifitas ekonomi atau dalam kepemilikan aset. Bank dunia membedakan privatisasi dalam arti sempit dan privatisasi dalam arti luas. Privatisasi dalam arti sempit merupakan bentuk pembebasan perusahaan, tanah, dan aset-aset lain yang dikuasai negara. Privatisasi dalam arti luas didefinisikan sebagai semua tindakan yang menggerakan perusahaan atau suatu sistem perekonomian kearah kepemilikan swasta, atas semua tindakan yang cenderung membuat perilaku perusahaan negara mirip seperti perusahaan swasta (World Bank,1996 : 39).
Liberalisasi dan privatisasi sebagai upaya mengakhiri peran negara ternyata juga memerlukan peran aktif negara. Di tingkat internasional, faktor politik yakni keterlibatan aktif Amerika Serikat dan Inggris yang didukung Jerman terbukti menjadi determinan yang mempengaruhi perubahan-perubahan besar dalam tata ekonomi politik dunia. Faktor politik ini semakin terlihat jelas ketika negara-negara besar memanipulasi lembaga-lembaga internasional produk Bretton Woods, yakni IMF dan Bank Dunia dan memberi mereka fungsi dan peranan baru. Yang diubah bukan hanya susunan personalia lembaga-lembaga itu, tetapi juga ideologi, misi dan mandatnya. Misalnya IMF yang semula hanya berfungsi sebagai clearing house bagi bank-bank sentral nasional dan penjaga stabilitas moneter negara-negara anggotanya, sejak saat itu diberi mandat yang lebih luas dengan sarana yang lebih efektif sehingga bisa bertindak sebagai polisi, akuntan, selain sebagai bankir untuk negara-negara anggotanya. Dari perspektif ini ide-ide neoliberal sangat mempercayai keunggulan pasar dibanding negara. Namun disisi lain, untuk menghidupkan kembali ide dan implementasi gagasan laissez faire, merka pun mau tak mau harus mengandalkan negara yang sama dengan segenap kekuasaaan, organ dan instrumen baru yang diperlukan untuk mewujudkan pasar bebas. Karena itu mengingat ekonomi pasar bebas adalah produk dari tindakan sengaja negara, maka pembatasan peran negara sebagaimana dianut dalam doktrin laissez faire terjadi bukan dengancara spontan. Dengan demikian laissez faire terbukti direncanakan; padahal perencanaan bukanlah ciri laissez faire.

 Analisis :
Liberalisme di Indonesia mulai tampak sejak jaman Orde Baru, terutama sejak IMF memberi bantuan dana ke Indonesia. Pada saat itu presiden Suharto menerima dengan tangan terbuka rekomendasi maupun saran yang diajukan oleh IMF. Rekomendasi ini tertuang dalam SAP (structural adjustment programs) di dalamnya berisi langkah langkah yang diberikan IMF untuk memperbaiki serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Langkah-langkah yang diberikan merupkan langkah-langkah yang diambil oleh negara barat sehingga memiliki perekonomian yang besar dan kuat seperti saat ini.
Rekomendasi IMF yang selalu diberikan kepada negara-negara berkembang dalam menyelamatkan perkonomiannya didasarkan pada Washington Consesnsus, yakni:
1. Perdagangan bebas
2. Liberalisasi pasar modal
3. Nilai tukar mengambang
4. Angka bunga ditentukan pasar
5. Deregulasi Pasar
6. Transfer aset dari sektor publik ke sektor swasta (privatisasi)
7. Fokus ketat dalam pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial.
8. Anggaran berimbang
9. Reformasi pajak
10. Perlindungan atas hak milik dan hak cipta
Rekomendasi ini terlihat jelas bahwa AS melalui IMF ingin menyebarkan paham liberalismenya atau yang disebut neoliberalisme. Yang artinya ingin menguarangi peran pemerintah dalam bidang ekonomi dan memperbesar peran swasta melalui instrumen pasar.
Semasa pemerintahan Presiden Habibie diterbitkan UU No.10/1998 tentang perbankan. Undang undang ini secara eksplisit mendorong salah satu tujuan konsensusn Washington, yaitu liberalisai sektor kuangan dan perdagangan. Lebih parah lagi, semangat liberalisasi ini dilakukan dengan kebablasan, tanpa disertai dengan jaring pengaman dari liberalisasi, terutama manajemen resiko.
Bab Umum dari penjelasan UU No. 10/2998 menyebutkan:
“Upaya liberalisasi di bidang perbankan dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat sekaligus meningkatkan kinerja perbankan nasional. Oleh karena itu, perlu diberikan kesempatan yang lebih besar kepada pihak asing untuk berperan serta dalam memiliki bank nasional sehingga tetap terjadi kemitraan dengan pihak nasional”

Jiwa liberalisasi ini lalu diterjemahkan ke dalam pasal 22 ayat 1b yang membebaskan warga negara asing dan atau badan hukum asing untuk mendirikan Bank Umum secara kemitraan dengan warga negara atau badan hukum Indonesia. Lalu ditambah oleh pasal 26 ayat 2 yang membebaskan warga negara asinga dan atau badan hukum asing untuk membeli saham bank umum secara langsung dan atau melalui bursa efek.
Dengan aturan diatas, pihak asing bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia. Ini jauh lebih tinggi dai komitmen Indonesia di WTO yang pada awalnya adalah 49% lalu dinaikkan menjadi 51%. Indonesia bahkan lebih liberal dari negara negara Amerika Serikat, Austrlia, Kanada, Singapura dan sebagainya yang menerapkan pembatasan kepemilikan asing dalam sektor perbankan. Juga paling “ngawur” di antara negara-negra Asia lainnya..
Privatisasi merupakan implementasi dari paham neoliberal. Menurut teori Adam Smith bahwa dalam kegiatan ekonomi suatu negara peran individu merupakan hal yang sentral, dan negara tidak memiliki peran yang penuh dalam hal ini.
Dampak dari privatisasi :
1. Negara tidak memiliki kontrol lagi terhadap sektor sektor vital, terutama sektor yang sangat berpengaruh pada masyarakat luas. Seperti pertambangan, pertanian, perikanan, telekomunikasi, perbankan.
2. Negara sangat dipengaruhi oleh kepentingan pemilik modal, tidak lagi untuk kepentingan masyarakat luas.
3. Negara yang seharusnya meredistribusikan pendapatan malah menambah pengeluaran masyarakat.
Maka dengan adanya privatisasi ini tentu saja akan menguntungkan pemodal, karena sektor sektor yang seharusnya dimiliki dan dikendalikan oleh pemerintah yang seharusnya merupakan public goods, malah dikuasai oleh swasta dan swasta dapat menentukan harga semau mereka. Para pemodal ini tentu saja lebih banyak dari luar negeri, seperti yang telah direncanakan dalam washington consessus semua yang menjadi ‘pasien’ IMF dipaksa untuk membuka pasar dalam negerinya bagi para pemodal asing. Dengan demikian privatisasi dapat mengancam kepentingan serta keamanan nasional negara.
Salah satu contoh kebijakan privatisasi adalah UU No.23 tentang BUMN adalah UU yang pertama di Indonesia yang memberikan landasan hukum eksplisit terhadap pelaksanaan privatisasi. Namun sayangnya, yang masuk dalam UU tersebut adalah privatisasi dengan konsep dasar yang pro-Konsesnus Washington, dari pada ditujukan bagi kedaulatan dan kemakmuran rakyat banyak.
Berikut ini bebrapa contohnya. Pertama, mari kita lihat Bab Umum dari Penjelasan UU BUMN tersebut. Bab ini memberikan landasan filosofis dan pemikiran terhadap Batang Tubuh dari sebuah Undang-undang. Dalam Bab Umum, butir II, alinea pertama tercantum kalimat “BUMN juga merupakan salah satu sumber negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden dan hasil privatisasi”.
Dari sisi konsep anggaran, kalimat ini sebenarnya salah, karena hasil privatisasi itu bukan kategori penerimaan, tapi pembiayaan. Namun apapun kategorinya, dari sisi filosofis kalimat ini secara implisit mengakui bahwa privatisasi merupakan sumber pembiayaan untuk menutup defisit APBN. Hal ini merupakan perwujudan dari pilar Konsensus Washington, yaitu stabilisasi ekonomi makro, khususnya stabilisasi anggaran, yang dilakukan dengan jalan menjual BUMN untuk menutup defisit.
Kalimat diatas menjadi pembenaran bagi program “privatisasi untuk menutup defisit”. Padahal program seperti ini adalah mirip petani yang menjual sawahnya karena terlilit utang. Akibatnya si petani menjadi semakin miskin karena kehilangan modal utamanya. Karena menjual dalam kondisi kepepet, seringkali harganya pun sangat murah, dan tidak jarang dibeli oleh rentenir. Hal yang sama terjadi pada BUMN, yang diprivatisasi untuk menutup defisit, dimana rentenirnya adalah investor, kreditir dan pelaku keuangan asing.
Kedua, dalam Bab Umum butir II dan IV diuraikan mengenai kegagalan BUMN memenuhi tujuannya, bagaimana lingkungan global berubah dengan adanya globalisasi, privatisasi sebagai solusi, dan privatisasi tidak berati kehilangan kedaulatan negara. Ini semua merupakan argumen Konsensus Washington tentang privatisasi. Yaitu kepemilikan oleh negara-lah yang dianggap sebagai sumber dari kegagalan dan permasalahan BUMN. Karena itu, solusinya kepemilikan negara harus dikurangi atau dihapuskan.
Padahal, penyebab utama lemahnya kinerja BUMN adalah intervensi dai elit kekuasaan, politik dan birokrat yang membuat tata kelola BUMN tidak sesuai dengan tata kelola korporasi yang semestinya. Jadi bukan kepemilikan negara masalahnya tetapi justru pengelolaannya. Karena itu semestinya solusinya adalah menghapus intervensi elit atas, sehingga BUMN bisa dikelola secara profesional. Singapura melalui BUMNnya (yaitu Temasuk Holding) adalah bukti bahwa BUMN bisa menjadi pemain global yang sangat kompetitif.

Maka dapat disimpulkan bahwa liberalisasi serta privatisasi yang berlebihan tanpa dilakukan perhitungan yang cermat maupun manajemen resiko serta persiapan yang matang, akan sangat membahayakan. Terutama akan merugikan rakyat Indonesia, yang sampai saat ini masih mengalami masalah kemiskinan dan pengangguran. Belum lagi kenaikan BBM dan harga bahan pokok yang semakin menyiksa mereka, oleh karena itu peran negara yang seharusnya melindungi kepentingan rakayat malha berpihak pada para pemodal. Bahkan pada para pemodal asing, yang dapat membahayakan kedaulatan negara, tidak ada negara besar yang memiliki ekonomi yang lemah. Oleh karena itu kedaulatan dibidang ekonomi seharusnya menjadi hal yang sangat krusial dalam membangun Indonesia.





Daftar Pustaka

Ma’arif, Syamsul, 2006, “Dinamika peran negara dalam proses liberalisasi dan privatisasi”, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, vol. 10, nomor 2, pp. 99-114
Rais, Amien, 2008, “Agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia!” Yogyakarta: PPSK Press



link pdf
http://www.4shared.com/file/54256464/1b2812e6/Review_jurnal_Kebijakan_Publik.html

3 comments:

Anonymous said...

Yes undoubtedly, in some moments I can say that I agree with you, but you may be considering other options.
to the article there is quiet a definitely as you did in the downgrade issue of this beg www.google.com/ie?as_q=error repair pro 3.76 ?
I noticed the utter you have not used. Or you use the dark methods of helping of the resource. I have a week and do necheg

Anonymous said...

Kedengarannya bagus, saya suka membaca blog Anda, hanya ditambahkan ke favorit saya;)

Anonymous said...

save that writing .
[IMG]http://www.sedonarapidweightloss.com/weightloss-diet/34/b/happy.gif[/IMG]

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template